Sumber: Unsplash/Maximus Beaumont

Puankhatulistiwa – Kata yang sering terlontar dari masyarakat adalah “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” hal ini memanglah fakta. Jurang ketimpangan ekonomi di Indonesia tahun 2025 semakin lebar. Realitas hidup yang semakin berat, terbukti dengan harga sembako, tagihan listrik hingga sekolah anak naik tiap tahunnya. Namun, bagaimana dengan penghasilan kita? Nyaris tidak bergerak alias mandek. Daya beli kita semakin menyusut meski kerja keras tidak pernah berhenti.

Terus bagaimana nasib pengangguran? Angka pengangguran terus tinggi, kelompok rentan semakin terancam akibat krisis. Kondisi kesehatan kelompok rentan semakin terancam akibat ketidakpastian cuaca akibat krisis iklim maupun kondisi ekonomi yang semakin melemah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Indonesia saat ini mengalami penurunan dari lima tahun sebelumnya pasca covid-19

Meskipun data Badan Pusat Statistik mengalami penurunan, namun angka pengangguran berdasarkan jumlah per individu meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penurunan angka persentase tingkat pengangguran terbuka seringkali disalahartikan sebagai keberhasilan kebijakan ketenagakerjaan. Padahal, turunnya presentase tidak serta merta peluang kerja membaik. Angka itu bisa saja turun karena angkatan kerja bertambah banyak, sementara jumlah penganggur juga terus meningkat. Hal ini tentunya sangat berpengaruh pada mereka yang memiliki anggota keluarga kelompok rentan.

Dalam struktur masyarakat, kelas menengah terus berkurang. Indonesia pernah berharap kelas menengah menjadi penopang ekonomi. Namun faktanya, jumlah kelas menengah nyaris stagnan.  Justru yang tumbuh yakni “aspiring middle class” alias calon kelas menengah yang kesannya naik kelas, padahal sekali krisis rentan jatuh miskin lagi.

Kita lihat di pedesaan, banyak petani yang terpinggirkan. Dibalik meja makan kita, ada cerita getir para petani. Coba kita bayangkan, sebuah stadion bola berskala internasional yang penuh sesak kemudian coba kamu kalikan dengan 200 kali lipat. Begitulah jumlah petani gurem di negara ini. Setidaknya ada 17,25 juta orang menurut data BPS Tahun 2023. Mereka menggarap lahan sekecil setengah dari lapangan bola, sementara pihak lain menguasai jutaan hektar tanah. Tanah yang seharusnya menjadi sumber bagi penghidupan warga negara justru menjadi alat monopoli segelintir pihak.

Di daerah pesisir, nelayan tradisional mayoritas mengalami penurunan hasil tangkapan dan pendapatan akibat perubahan cuaca dan laut yang semakin tidak menentu. Risiko kecelakaan semakin tinggi, ditambah lagi tidak adanya jaminan perlindungan yang memadai. Hal ini mengakibatkan kondisi ekonomi juga kesehatan kelompok rentan menghadapi pukulan yang berlapis.

Sedangkan di kota-kota terjadi lapangan kerja semu. Badan Pusat Statistik mengklaim angka pengangguran terbuka menurun. Tetapi jangan salah, semakin banyak orang hanya bisa kerja paruh waktu atau di sektor informal tanpa kepastian. Bekerja hari ini bukan lagi menjadi jaminan masa depan.

Berharap mampu menutup jurang kaya-miskin, sistem perpajakan kita justru memperlebar ketimpangan. Beberapa hal yang dapat kita identifikasi dengan seksama dan dapat menjadi indikator seperti rasio pajak rendah, rasio penerimaan pajak jauh lebih rendah dibandingkan negara peers dengan level pendapatan serupa. Beban regresi, kelompok miskin menanggung porsi lebih besar dari PPN dan cukai, sementara kelompok kaya relatif lebih ringan.

Selain itu, perlindungan sosial yang minim, belanja perlindungan sosial hanya 1-1,5% dari PDB, jauh dibawah standar banyak negara berkembang. Kualitas belanja yang rendah, alokasi masih dominan untuk gaji rutin dan subsidi energi, bukan untuk investasi produktif seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur hijau dan lainnya. Inefisiensi dan kebocoran, tata kelola yang lemah, korupsi dan program yang tidak tepat sasaran sehingga mengurangi efektivitas fiskal dalam mendorong pemerataan.

Banyak kalangan yang menilai bahwa negara masih tertahan di tahap awal industrialisasi. Hal ini  bisa menjadi jalan buntu atau menjadi jalan keluar. Dari uraian masalah diatas sebenarnya mampu dibalikkan menjadi jalan keluar bila dikerjakan dengan bersungguh-sungguh dan konsisten. Menerapkan implementasi re-industrialisasi dan industri hijau, memberlakukan pajak kekayaan untuk orang super kaya, melakukan  reformasi agraria, melakukan investitasi di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi, riset dan hal baik lainnya.

Hal ini dilakukan untuk memperbaiki sistem yang dikatakan oleh ekonom Belanda, Jan Tinbergen yang mengatakan bahwa “jika jurang pendapatan lebih dari 5:1, potensi keresahan sosial akan meningkat tajam. Kita telah melihat tanda-tanda nyata seperti Gini rasio yang naik pasca pandemi, kelas menengah yang stagnan dan kelompok rentan melonjak, jumlah penduduk miskin perkotaan bertambah 610 ribu orang tahun 2019-2022, hingga petani gurem yang mencapai 17 juta orang. Jika jurang ini terus melebar, maka yang menunggu kita adalah gejolak dan kekacauan. Reformasi fiskal bukan sekadar hitungan angka, ini tentang nasib dari sebuah bangsa.

Oleh : Efrial Ruliandi Silalahi