Berawal dari Nyinyir, Kebong Buktikan Muralis Perempuan Bisa Berkarya Lebih Hebat
Mural merupakan seni jalanan (street art) yang sudah ditemui sejak lama. Cirinya berupa melukis di media tembok atau dinding. Dulunya, mural dibikin untuk menyampaikan kritikan pada rezim. Sekarang mural menjelma jadi karya seni yang sangat elok dipandang.
Oleh: Nina Soraya
Sosok Ayu Muniarti berjuluk Kebong merupakan Muralis Perempuan Pontianak. Kebong dengan perawakan tubuh kecil ini mampu melukis di tembok yang ukuran bisa lebih dari 3×3 meter secara sendirian. Bahkan untuk mural bertemakan Tropical Forest, ia hanya cukup menghabiskan waktu 3-4 jam saja.
Semua tema dibabat habis. Meski demikian dari 200 tembok yang dilukisnya lebih banyak menggambarkan alam. Meski menerima jasa mural dan menggambar sesuai dengan tema yang dipesan, namun tak jarang dia pun menggambar apa yang tengah jadi kegundahan hatinya.
Contohnya pada awal pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia pada 2020 lalu. Pemerintah dan semua public figure ikut mengkampanyekan pesan “Di Rumah Aja”. Kebong pun berinisiatif melukis satu tembok di Kampung Mendawai Pontianak.
Kala itu ia melukiskan wajah Najwa Shihab pemilik program acara Catatan Najwa di Narasi TV yang mengajak untuk tetap berada di rumah. Sementara tenaga Kesehatan tengah berjuang membantu pasien-pasien terkonfirmasi Covid-19 di Rumah Sakit.
Mural yang diabadikan Kebong lewat akun Instagram @aiiukebong ini diapresiasi langsung Najwa Shihab. Pembawa acara sekaligus Jurnalis itu merepost dan menuliskan pesan:
“Waah Pontianak! terima kasih utk mural ini. Bagus banget gambarnya. Para pahlawan medis yg berjuang utk melindungi kita yang #dirumahaja. Terima kasih jg sdh mengutip #CatatanNajwa ini “Jadilah penenang bagi rakyat yang gelisah, jadilah penentu ketika semua jalan terlihat buntu”.
“Sangat senang karena di-repost Mbak Nana. Sebenarnya aku juga satu di antara Kolaborator Narasi. Tapi bukan karena itu gambar Mural saya direpost, tapi karena memang dianggap berkesan,” ujarnya.
Anak pertama dari lima bersaudara ini memiliki pengalaman spesial saat sebelum memutuskan menjadi Muralis mandiri. Ia mengatakan bahwa pada awalnya ia memang hobi melukis karena baginya itu sebagai suatu bentuk ekspresi diri. Akan tetapi, ia semula tak niat menjadikan mural sebagai ladang rezekinya. Namun, karena ada nyinyiran atau kalimat meremehkan dari seseorang itulah menjadi pelecut untuknya.
“Dahulu, aku hanya ikut-ikut saja (Mural). Ramai-ramai, pakai tim. Lalu ada satu orang yang komentar, ah kamu itu megang kuas aja masih gemetaran. Omongan orang itu masuk ke hati aku. Aku nggak balas cuma aku bertekad akan buktikan kalau aku bisa mural sendiri,” kenang Kebong.
Alumnus Polnep Pontianak ini pun sebelumnya sudah membuka jasa melukis wajah. Saat ada konsumen yang menanyakan apakah dirinya bisa melukis dinding? Tanpa pikir panjang, Kebong langsung menyanggupi. Menurutnya itulah jalan untuk menjawab remehan temannya dulu.
Sampailah saat ini, karyanya bisa ditemukan di tembok-tembok dalam gang, atau jalan-jalan utama dan Kawasan publik. Karya Kebong tak hanya bisa dinikmati di Pontianak, tapi sudah menjelajah hingga beberapa kabupaten kota di Kalbar bahkan hingga beberapa provinsi lainnya.
Dirinya pernah diminta melukis dinding stadion bola di Bontang, Kalimantan Timur. Tak tanggung-tanggung, Ayu pun melukis wajah mantan Manajer Arsenal Arsene Wenger.
Lalu apa bedanya mural dengan melukis pada umumnya. Si pemilik akun Instagram @aiiukebong ini menjelaskan yang menjadi pembedanya tentu saja media Lukis. Mural yang dipakai melukis itu tembok atau dinding dengan luas media yang sangat besar, tentu saja tidak gampang.
Saat akan memulai melukis, Kebong terkadang harus membuat sketsa terlebih dahulu barulah menumpahkannya gambar ke dinding.
Uniknya tak Cuma dinding, Kebong pun pernah diminta untuk melukis di lantai Alun-alun Kapuas Pontianak.
Sebelum menjadi Muralis, Kebong pun sudah memiliki pekerjaan tetap. Tapi dia memilih untuk meninggalkan kerjaanya tersebut agar bisa fokus menjadi Muralis.
“Sebelumnya aku sudah punya kerjaan tetap sama ambil job ngelukis potrait wajah. Dari segi penghasilan itu sudah cukup. Hanya rasanya perlu keluar dari zona aman jadi aku putuskan berhenti kerja agar bisa punya cukup waktu untuk mural,” ucapnya.
Lewat penghasilan yang didapatnya itu, ia mampu membayar biaya pendidikan selama berkuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Teknologi Yogyakarta.
Menurutnya ada kebahagian tersendiri saat bisa menghasilkan karya. Pujian dan cacian baginya hal biasa.
“Yang julid pasti ada, yang suka pun pasti banyak. Jalani saja, jangan takut kritikan. Upayakan karya yang kamu bikin posting di media sosial. Itulah yang membuat karya aku banyak dipakai, dapat banyak job pula. Tak hanya di sini tapi sampai ke luar,” ujarnya.
Kebong juga pernah membuat mural di Kapuas Hulu yang memuat kampanye pelestarian Rangkong Gading. Rangkong Gading maskot Kalbar ini seperti diketahui habitatnya terancam punah.
Oleh karena itu banyak pihak terus mengkampanyekan kesadaran untuk melindungi Rangkong atau Enggang Gading tersebut. Satu di antara caranya dengan lukisan mural guna mengajak banyak pihak terlibat aktif dalam upaya penyelamatan tersebut.
Dalam kesempatan itu pula, Kebong dipercaya membuat mural bagi Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Sekolah Luar Biasa Negeri atau SLBN 25 Kedamin Hilir Kabupaten Kapuas Hulu.
“Senang sekali bisa dipercaya melukis dinding sekolah sana. Aku pilihkan tema dengan nuansa banyak warna seperti ada hewan-hewan laut, pepohonan dan hutan. Tujuannya saat mereka lihat, mereka bisa merasakan ceria seperti banyak warna dalam lukisan itu,” tuturnya.
Mural bertemakan Tropical Forest memang disukainya. Karena permainan warna-warna cerah yang sejuk dipandang mata. Namun, Kebong pun cukup ahli membuat Mural dengan tema lainnya sesuai permintaan konsumen.
Apalagi tren mural tak hanya di jalanan, tapi sudah masuk ke café-café, perkantoran hingga dinding dalam rumah. Biasanya, kata Kebong, mural yang dipilih di café bertemakan Chalk Painting. Jadi dengan background papan berlatar hitam, muralis hanya tinggal menggambar sesuai tema.
Gambar floral pun sangat hits. Banyak juga ia mendapatkan tawaran melukis demikian.
Pilihan lainnya, yang bisa dipakai konsumen seperti mural bertemakan tifografi. Mural yang demikian hanya menampilkan kata-kata motivasi atau quotes, biasanya jadi penghias dinding coffee shop.
Tidak ada pelajaran khusus yang dipelajari Kebong untuk bisa melukis sebagus itu. Semuanya hanya autodidak.
Lalu berapa tarif yang dipatok Kebong? Harganya berkisar Rp 300 ribu-500 ribu per meter. Soal tarif, dia berharap masyarakat tidak langsung bilang ‘wah mahal ya’. Ini merupakan karya seni yang memuat ide.
“Kalau ada yang bilang, ini mahal, atau ini lebih murah dibandingkan muralis lainnya. Tiap muralis beda-beda, jadi menurutku ini harga yang patut ku terima dengan jasa melukis yang kubuat,” terangnya.
Akan tetapi, dia meminta agar calon konsumen untuk tidak takut dahulu perihal harga. Karena dirinya pun bisa diajak bernegoisasi.
“Kalau ada tawaran job mural ke luar kota, aku lebih suka. Bahkan aku berani kasi diskon. Karena pengalaman yang didapat juga luar biasa, bisa berinteraksi dengan banyak orang,” jelasnya.
Apa yang menjadi pengalaman terbaik saat menjadi muralis ternyata saat ia menerima tawaran melukis dinding Hotel Grand Zuri Ketapang. Pasalnya media dinding yang sangat besar serta dispot yang sangat strategis.
Tak jarang tamu yang datang ke hotel menjadikan gambar tersebut sebagai background foto. Bukan hanya itu, Kebong diberikan satu dinding yang dirinya sendiri memilih tema gambarnya.
Tren mural yang kian diminati, diakui Kebong memang menjadi peluang bisnis. Hal ini pun menjadi angin segar bagi para muralis yang karyanya mulai dilirik dan dihargai. Bahkan pemerintah pun memberikan dukungannya dengan memfasilitasi ruang publik untuk dipercayakan kepada para muralis menampilkan karyanya.
Muralis perempuan Pontianak pun sangat banyak. Hanya belum banyak yang berani tampil mandiri. Atau masih memilih bergabung dalam tim.
Jatuh Cinta pada Sulaman
Di tengah kepadatan jadwal membuat mural, rupanya Ayu Kebong memiliki keterampilan lainnya. Masih tak jauh dari dunia seni rupa. Yakni membuat sulaman atau hand embroidery. Produk sulamannya dijadikannya ke dalam produk masker, dompet, pouch, tas dengan brand “Maen Warna”
Kepiawaian dalam menyulam pun turut dia bagikan dalam kelas workshop hanya untuk skala kecil. “Aku punya prinsip, satu hari itu minimal satu karya,” ujarnya.
Hanya, menurutnya kecintaan pada sulaman merupakan peralihan dari dunia mural yang tiap harinya mesti digeluti.
“Kalau mural itu uda kategorinya zona nyamannya aku. Jadi ini (mural) dari hobi lalu jadi pekerjaan karena menghasilkan uang. Tentu saja pasti ada bosannya. Makanya aku pilih menyulam untuk mengusir rasa bosan,” katanya.
Tak main-main, karya sulamannya tampil di beberapa pameran seperti di Rumah Radakng Pontianak dan mal di Kota Samarinda Kaltim.
Untuk saat ini kelas workshop tersebut terpaksa ditiadakan karena pandemi Covid-19. Namun, tak menutup kemungkinan workshop tersebut akan terus ia galakkan untuk membagikan keterampilannya berkarya.