Cerita Dwi Astiani Selamatkan Lahan Gambut
Jutaan manusia bahkan mahluk hidup di alam ini sangat bergantung pada lahan gambut untuk penghidupan mereka. Begitu pentingnya gambut menarik perhatian seorang wanita untuk terus mengembangkan inovasi-inovasi dalam penyelamatan lahan gambut demi keberlangsungan kehidupan mahluk yang menempati bumi ini.
Oleh: Ponti Ana Banjaria
Prof Dr Dwi Astiani MSc, seorang ahli gambut dari Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak memberikan perhatian penuh pada eksistensi lahan gambut yang ada saat ini.
Permasalahan-permasalahan terkait penurunan keberadaan dan fungsi lahan gambut, memotivasi dirinya berupaya menciptakan solusi-solusi yang ramah lingkungan dan berdampak besar terhadap kehidupan.
“Gambut itu objek sangat besar sebagai tempat kehidupan mahluk dan saat ini menjadi sorotan dunia karena mulai terancam keberadaannya,” tutur Dwi yang merupakan anggota dari International Tropical Forest Society, Indonesian Forester Society ini, Selasa 28 September 2021.
Gambut ialah jenis tanah organik yang terbentuk dari bagian vegetasi yang telah terurai dan terendam air selama berabad lamanya. Gambut ada di planet ini sekitar 360 juta tahun.
Sedangkan khusus di Kalimantan Barat, total luas lahan gambut mencapai 1,7 juta hektare. Namun dilihat dari hutan gambutnya atau tutupan lahannya, hanya mencapai 30 persen dari total luasan tersebut.
Beberapa lahan gambut yang kini ada bahkan memerlukan lebih dari 10.000 tahun untuk terbentuk.
Seberapa Pentingkah Gambut?
Secara alami gambut itu fungsinya sangat luar biasa. Menurut Dwi Astiani, lahan gambut mempunyai multifungsi.
“Gambut itu bisa menyimpan begitu banyak air atau water reservoir yang sangat besar. Kalau hujan, gambut akan menyimpan air hujan tersebut. Kalau enggak ada gambut, air akan mengalir deras di permukaan dan membanjiri di kawasan hilirnya,” ungkap dosen yang fokus pada bidang keilmuan Ekologi Lanskap, Dinamika Lahan Gambut, Hutan Gambut, Karbon, Kebakaran Gambut, Tanah Hutan, Sivika, dan Silvikultur ini.
Secara alaminya, lanjut Dwi, gambut akan mensuplai air ke bagian yang rendah saat musim kering, “Inilah fungsi hidrologis dari gambut yang sangat vital bagi kelangsungan hidup manusia,” tambahnya.
Gambut juga memiliki peranan penting dalam ekologi. Penting bagi keragaman hayati karena merupakan rumah untuk beragam spesies langka dan dilindungi.
“Sebagai tempat biodiversitas yang memilki rantai makanan sendiri, ekosistem sendiri,” katanya.
Selain itu, tidak kalah vitalnya. Gambut menjadi reservoir karbon yang sangat besar. Diterangkan Dwi, di dalam gambut yang dalam tersebut dapat menyimpan jutaan ton karbon.
“Jika itu terekspos ke atmosfer, maka akan merusak alam dan bahkan menjadi rumahnya gas yang begitu besar,” terangnya lagi.
Dan yang tak kalah penting untuk diketahui oleh masyarakat, jelas Dwi, gambut dapat sebagai chelate.
“Misalnya jika ada polusi, maka jenis-jenis radioaktif dari hulu, akan ditangkap dan disimpan oleh gambut selamanya. Karena gambut memiliki muatan negative di setiap butir-butir gambutnya. Dia bisa menangkap dan menyimpannya dengan sangat kuat,” urai dosen yang mendapat begitu banyak penghargaan di bidang keilmuannya ini.
Bisa dibayangkan, ucap Dwi, jika kebakaran melanda lahan gambut. Gambut tidak akan bisa lagi mengikat bahan-bahan polusi dan radioaktif tersebut di dalamnya. Bila itu tereskpos keluar dan bercampur dengan partikel gambut yang setengah basah, maka akan keluar kabut asap yang mengandung bahan-bahan polusi, logam-logam berat, radioaktif yang diikat sebelumnya.
“Betapa bahayanya, kan?” tukasnya.
Lahan gambut memegang peranan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Walaupun jumlah lahan gambut hanya sekitar 3-5% di permukaan bumi, namun keberadaannya merupakan rumah bagi lebih dari 30% cadangan karbon dunia yang tersimpan di tanah.
Diperkirakan lahan gambut menyimpan karbon dua kali lebih banyak dari hutan di seluruh dunia, dan empat kali dari yang ada di atmosfer. Lahan gambut di wilayah tropis menyimpan karbon yang paling banyak.
Banyak faktor yang mempengaruhi semakin menurunnya keberadaan lahan gambut, diantaranya karena ketidaktepatan dalam pengelolaan lahan gambut dan kebakaran hutan.
Karena menurut Dwi, penyebabnya adanya pembagunan, proyek-proyek, kebakaran, dan termasuk dalam perubahan lahan dari hutan ke kebun.
“Kalau itu dikawasan hutan, itu tetap harus dibiarkan sebagai hutan. Tapi kalau aturan sekarang itu dbolehkan, kan. Jadi lebih banyak keterancaman hutannya lebih besar dan sulit dikembalikan,” katanya.
Melihat permasalahan inilah, Dwi Astiani melakukan berbagai penelitian. Termasuk penelitian program S3 (Doktor).
“Kalau hutan gimana kondisinya saat ini, gambutnya, pertumbuhan pohonnya. Jadi lebih ke arah perputaran karbonnya, Kemudian bagaimana kndisi keterbukaan hutan, misalnya hutan terbakar, gimana gambutnya, emisinya,” katanya.
“Terus jika di buka menjadi kebun sawit, gimana kondisinya gambutnya apakah emisinya meningkat atau menurun atau apa yang terjadi di situ,” tambahnya lagi.
Latar belakang tersebutlah, yang memotivasi Dwi Astiani melakukan penelitian dengan tujuan untuk menciptakan inovasi untuk bisa memberikan solusi bagi permasalahan di gambut ini.
“Ibu mulai merancang gimana ya mengurangi emisi karena perubahan lahan itu apalagi terbakar. Misalnya awalnya dari mulai terbakar hingga sembilan bulan, emisinya naik terus. Jadi dekomposisi di gambut itu meningkat terus sehingga perlu ada inovasi untuk mengatasi hal tersebut,” urainya.
Menciptakan terobosan inovasi dengan membuat Dam sederhana di Lahan Gambut
Dwi sempat juga mengalami sedikit kesulitan di awal penelitiannya tersebut. Sebab, di lokasi penelitiannya yang mengenai pertumbuhan pohon normal berharap lancar. Hingga suatu saat, dibangunlah parit sedalam 3 meter yang mempengaruhi kondisi ekosistem.
“Jadi kanal dibangun, 3 meter, tapi tidak diatur muka airnya. Jadi kalau musim kering tidak ada air yang tertiggal di situ. Sampai mikir research ku jadi gimana ini. Tapi ternyata malah jadi blessing aja. Oh, iya nanti diteliti setelah dibangun parit, pengaruhnya gimana. Teryata iya ya, kanal itu tidak menahan airnya,” ceritanya.
Berdasar penelitiannya di lapangan itulah, Dwi melihat pembuatan kanal-kanal yang ada di lahan gambut memang dapat memberikan solusi untuk menghilangkan banjir sebagai bagian dari pemusatan air.
“Tapi kelemahnnya, pembangunan kanal-kanal air tersebut, tidak diiringi dengan pengaturan tinggi muka airnya. Sehingga menyebebakan kecenderungan terjadinya penurunan air sampai sedalam paritnya (dasar parit),” jelasnya.
Jika hal tersebut terjadi dan diabaikan, maka air di parit-parit tersebut akan terus menguap dan mengering. Sehingga pada akhirnya mempengaruhi keseimbangan ekosistem di daerah tersebut.
“Nah disitu saya melihat, oh..kalau ini enggak diatur, maka hancurlah gambutnya karena akan mengering. Jadi kalau ada kebakaran bisa jadi sumber api yang sangat potensial,” ungkapnya.
Ia pun membuat terobosan, yakni dengan membuat inovasi baru di lahan gambut, berupa Dam sederhana. Dam atau bendungan ditujukan untuk menahan aliran air.
Air yang ditahan ini akan terkumpul dalam satu tempat penampungan air yang biasanya dilengkapi dengan pintu untuk mengendalikan air yang keluar.
“Saya uji dengan coba buat Dam, dinaikan airnya, diatur Tinggi Muka Airnya (TMA). Itu saya lakukan di Kuala Dua Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Jadi TMA itu bener-bener bisa diatur oleh masyarakat dan keuntungannya bisa menurunkan risiko kerusakan lingkungan, dan emisi bisa ditahan serta bisa mencegah kebakaran,” ulasnya.
Sebelumnya petani-petani di lokasi tersebut, diakui Dwi mengalami kesulitan dengan gagal panen akibat tanamannya yang rusak.
Ternyata hal tersebut disebabkan adanya keberadaan kanal – kanal air yang tidak melakukan pengaturan tinggi muka air.
“Jahe mereka banyak yang mati, sayur yang rusak dan parit yang kering. Padahal seperti jahe memerlukan cukup banyak air untuk subur,” katanya.
Ia menceritakan, petani-petani tersebut sebelumnya memakai parit-parit cacing sebagai tempat penyimpanan dan pendistribusian air di kawasan pertanian mereka. Metode tradisional ini cukup memberikan dampak positif bagi produktifitas hasil pertanian.
“Akhirnya, saya bersama tim membantu petani-petani tersbeut dengan membuat Dam sederhana yang budgetnya terjangkau saat itu. Alhamdulillah, meski dam sederhana, ternyata bisa menurunkan emisi yang ada, kebakaran tidak terjadi lagi karena dari 40 cm air yang kita atur itu, bisa melembabkan sampai ke permukaan lahan,” urainya.
Dengan keadaan itu, tanaman pertanian yang berada di lahan tersebut turut meningkat pertumbuhannya dan produksinya.
“Ini karena kita melakukan pengaturan Tinggi Muka Air (TMA) melalui Dam sederhana tadi. Tapi, keberhasilan pertanian itu kan juga tergantung dari kondisi lahan itu sendiri dan perlakuan yang dberikan,” tambahnya.
Sementara itu, di perkebunan sawit yang juga sudah mengaplikasikan metode tersebut, juga mengalami pertumbuhan yang baik sekitar 60 persen pada tanamannya dan emisi berkurang.
“Kalau di sawit tidak masalah air turun, karena tanamannya tidak perlu air yg banyak, namun emisinya yang tinggi. Dan kita coba atur tinggi muka airnya, ternyata pertmbuhannya tidak terganggu, emisi turun dan tumbuhnya sampai 60 persen,” terang Dwi.
Dengan metode tradisional oleh petani gambut seperti yang dilakukan petani sayur mayor di Sungai Selamat Pontianak Utara dengan membuat gundukan di setiap bedeng itu juga sudah baik untuk menyimpan air.
Dengan Dam sederhana dan biaya yang terjangkau oleh para petani, diharapkan dapat membantu serta memberikan dampak bagi keberlangsungan alam sekitar serta peningkatan perekonomian petani.
“Tapi kalau bisa, Dam nya jangan pakai beton. Karena akan sulit menyesuikan dengan kondisi tanah. Nantinya nilai investasi tidak sesuai dengan hasil yang didapat. Bisa pakai kayu ulin untuk tahan lama, atau Jonger yang saya lakukan. Bisa juga itu tahan lama dan biayanya enggak besar,” sarannya.
Harapan terhadap masyarakat untuk tetap menjaga eksistensi lahan gambut
Belajar tentang apa yang dilakukan para petani dengan metode tradisional untuk menjaga keberlangsungan ekosistem gambut. Dwi Astiani berharap peran masyarakat bukan saja mencari solusi akan permsalahan di lahan gambut, namun bagaimana mengetahui keilmuannya.
“Memang kita perlu membangun dan perlu lahan, tapi membangun itu dengan meminimalkan kerusakan biar seimbang. Jadi balance antara ekonomi dengan lingkungan,” katanya.
“Kehati-hatian itu tidak hanya tentang aturan saja, tapi dimasyarakat harus tahu secara keilmuannya dan kesadaran juga. Apa fungsi gambut dan dampaknya jika rusak atau bahkan sampai hilang. Kita membangun dengan pintar karena dasarnya ilmunya ada, sehingga kerusakan itu bisa ditekan sekecil-kecilnya,” paparnya.
Pembangunan memang diperlukan seiring kebutuhan, namun sekali lagi menurut Dwi harus ada nilai kehati-hatian.
”Tidak boleh sembarangan, takut mengganggu ekosistem yang ada. Artinya pembangunan yang ada tetap bisa meningkatkan ekonomi di masyarakat tanpa harus merusak lingkungan,” imbuhnya.
Sejatinya pembangunan yang baik itu adalah dengan menyesuaikan kondisi setempat.
“Kalau mau bangun,apa yang cocok di situ, spesies apa yang yang bisa menambah ekonomi masyrakat dan kalau dihutan yah tetaplah biarkan menjadi hutan yang sebenarnya,” ucapnya.
Dwi berharap dengan adanya inovasi Dam di lahan gambut, dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan dan masyarakat.
“Karena ini sesuai kebutuhan masyarakat, inovasi dengan Dam membuat tanaman mereka bisa bagus lagi, naik lagi produksinya dan mereka menyambut baik hal ini. Sama halnya dengan prinsip suistanable, jika yang dilakukan itu dapat meningkatkan, artinya bisa dilanjutkan,” terangnya.
Ia menekankan, untuk melakukan suatu agar melihat dulu kebutuhan dari masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi alamnya.
“Kita lihat dulu kebutuhannya, tanaman apa yang cocok, kondisi tanahnya, lingkungannya, dan perlu pembinaan terus menerus untuk masyarakat. Juga upaya-upaya metode paling bagus untuk dapat diterapkan, yang ramah lingkungan,” pungkasnya.
Dwi kembali mengingatkan, gambut sangat erat dengan fungsi hidrologi. Pembangunan kanal yang tidak terkontrol dan pengelolaan air yang tidak tepat, akan menyebabkan kerusakan lingkungan.
“Jika membuka lahan, janganlah merusak aliran hidrologinya, tapi kita sesuaikan dengan kondisi yang ada,” pungkasnya.***