Komnas Perempuan Merespon Peringatan Hari Hak Asasi Manusia ke 69
Hari HAM Internasional diperingati setiap tanggal 10 Desember, dimana Deklarasi Universal HAM yang dilahirkan 10 Desember 1948 adalah pernyataan global tentang Hak Asasi Manusia paska perang dunia ke II, sebagai upaya menghentikan kebiadaban perang, menghargai hak hidup dan kehidupan, kebebasan berpolitik, menikmati hak berpikir, beragama dan menjalankannya tanpa rasa takut, menghentikan segala bentuk diskriminasi atas dasar apapun, serta memastikan pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya lainnya yang adil.
69 tahun perjalanan komitmen dunia pada deklarasi HAM ini, dalam pantauan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) masih menyisakan banyak catatan tentang kondisi pemenuhan hak perempuan di Indonesia, diantaranya pengabaian hak hidup dan kekerasan terhadap perempuan yang semakin menguat dalam keluasan dimensi maupun dampak yang dialami perempuan, hingga pada kematian dengan pola-pola yang sadis dan mengenaskan. Kasus-kasus kematian perempuan akibat melahirkan tanpa dukungan fasilitas dan antisipasi yang memadai, pekerja migran perempuan yang kembali ke tanah air dalam kondisi sudah tak bernyawa atau terancam hukuman mati, femisida (pembunuhan perempuan karena korban adalah perempuan) menjadi pola yang mengiringi kekerasan seksual.
Di sisi lain Komnas Perempuan mengapresiasi sejumlah capaian dan langkah negara, termasuk yang terjadi di daerah. Beberapa langkah maju yang kami catatkan adalah ; 1) Lahirnya ACTIP (Asean Convention on Trafficking in Person) dan deklarasi perlindungan migran di Asean; 2) Pengesahan beberapa Undang-Undang yang secara substansi melindungi perempuan, seperti UU 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO, serta UU No 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran di Indonesia, ratifikasi sejumlah Konvensi termasuk perlindungan migran dan keluarganya; 3) Diadopsinya 167 rekomendasi Sidang UPR (Universal Periodic Review) PBB oleh Pemerintah Indonesia dimana isu perempuan yang paling banyak diadopsi; 4) Pengakuan negara terhadap eksistensi penghayat dan penganut kepercayaan melalui putusan Mahkamah Kontitusi dalam identitas kependudukan; 5) Dirumuskan dan ditetapkan Rencana Aksi Nasional Pemenuhan HAM (RAN HAM) yang dimulai tahun 2013 melalui Peraturan Presiden; 6)Kemajuan di daerah mencatatkan inisiatif dan kebijakan yang difokuskan untuk melindungi hak-hak perempuan, khususnya perempuan korban.
Namun, kita dikagetkan dengan Peringatan hari HAM Internasional pada 10 Desember 2017 yang dilakukan di Kota Solo, Jawa Tengah yang ditandai dengan pemberian penghargaan kepada beberapa daerah sebagai Kabupaten/Kota Peduli HAM. Bukan soal upaya mendorong wilayah untuk peduli HAM, tetapi pemberian penghargaan pada sejumlah wilayah yang terindikasi atau nanar memiliki persoalan pelanggaran hak asasi yang mengusik rasa keadilan dan pemenuhan hak korban pelanggaran HAM, termasuk wilayah yang masih memproduksi kebijakan diskriminatif yang dalam catatan Komnas Perempuan mencapai 421 kebijakan. Penghargaan terhadap Gubernur Jawa Tengah salah satunya –walau Jawa Tengah punya inisiatif yang baik soal layanan korban kekerasan berbasis gender– namun penghargaan tersebut telah mencederai perasaan adil masyarakat maupun perempuan Kendeng tolak semen yang telah melakukan aksi konstitusional, jalur hukum, mendirikan tenda lebih dari setahun atau bertahan satu bulan di depan kantor Gubernur, namun tidak ada respon yang memenuhi rasa keadilan korban dari Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Mereka juga telah berhari-hari menyemen kaki di depan istana, bahkan sudah 2 Perempuan Kendeng meninggal dalam perjuangan hak atas tanah dan air, termasuk perempuan penambang di Mrisi Purwodadi yang hilang nyawa tertimbun tambang tapi minim terekspose.  Kehancuran dan kerusakan alam yang parah dengan penambangan batu kapur terjadi di Kendeng, serta retaknya kohesi sosial bahkan hubungan kekeluargaan akibat perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen. Belum lagi kasus Perempuan di Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal yang lahannya dijadikan wilayah tukar guling PERHUTANI Kendal dan berujung pada kriminalisasi terhadap tiga petani Surokonto Wetan yang memperjuangkan hak atas akses kehidupan mereka yang telah menjauhkan wajah Jateng sebagai wilayah yang melihat HAM sebagai bagian penting yang harus dilindungi.
Penghargaan terhadap wilayah (Kabupaten, Kota dan Provinsi) peduli HAM ini semestinya dirancang untuk menjadi pemicu bagi daerah untuk bersegera melakukan hal-hal yang penting dalam rangka melindungi HAM warganya, bukan hanya semata penghargaan seremonial dengan pendekatan yang tidak komprehensif, dan tidak sensitif pada korban.
Untuk itu Komnas Perempuan bersikap:
1. Berkeberatan dengan penghargaan yang diberikan kepada Gubernur Jateng apabila isu-isu konflik sumber daya alam tidak dituntaskan dengan cara-cara lestari dan konstitusional;
2. Meminta Kemenhukham mendorong wilayah peduli HAM dengan cara yang mengakar dan strategis, termasuk mengevaluasi kriteria dan proses penjurian secara terbuka, dengan memastikan dimensi HAM perempuan, pakta integritas, dan proses verifikasi yang ketat, dengan melibatkan berbagai pihak termasuk CSO dan korban;
3. Mendorong presiden dan kementerian juga seluruh jajaran negara untuk melakukan peringatan HAM dengan menuntaskan isu-isu krusial pelanggaran HAM dengan langkah-langkah mengakar, termasuk memperingatinya bersama korban, memberi penghargaan pada pembela HAM Perempuan;
4. Menggunakan kerangka Due Diligence (Uji cermat tuntas) yang berkaitan dengan tanggung jawab negara atas korban pelanggaran HAM perempuan yang meliputi: Pencegahan, Perlindungan, Penuntutan, Penghukuman dan Pemulihan.
Sumber :
Siaran Pers Komnas Perempuan Merespon Peringatan Hari Hak Asasi Manusia ke 69: Penghargaan Kabupaten/Kota Peduli HAM yang Abai Korban
Jakarta, 13 Desember 2017