Komnas Perempuan Dorong Negara Berikan Penguatan Layanan Terintegrasi bagi Perempuan Korban Kekerasan yang Hidup dengan HIV/AIDS
JAKARTA – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) prihatin atas situasi perempuan korban kekerasan yang hidup dengan HIV/AIDS dan terus berada dalam kondisi tidak setara, terstigma dan penuh kekerasan, terutama dalam masa pandemi.
Menyikapi ini, Komnas Perempuan mendorong adanya kebijakan layanan terintegrasi bagi perempuan hidup dengan HIV/AIDS (PDHA) yang juga mengalami kekerasan.
Untuk itu, pada tahun 2021-2022 Komnas Perempuan memberikan perhatian khusus pada upaya pengembangan kebijakan layanan terintegrasi ini di Papua dan Papua Barat, yang dikenali tinggi kekerasan terhadap perempuan dan keterpaparan HIV/AIDS.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 2017-2021, ada 229 kasus kekerasan terhadap PDHA dimana 89%-nya mengalami lebih dari 1 bentuk kekerasan.
Sementara 97% PDHA melaporkan kekerasan psikis, dalam bentuk stigma dan pengucilan, juga 12 kasus pengusiran dan 88% mengalami kekerasan seksual.
PDHA juga melaporkan kekerasan fisik yang dialami dalam bentuk penganiayaan. Selain itu, mereka juga mengalami kekerasan ekonomi misalnya ditinggalkan dan ditelantarkan oleh pasangan. Pelaku terjadinya kekerasan tersebut adalah anggota keluarga sebanyak 93% dengan mayoritas pelaku adalah suami (86%).
Pada tatanan kesehatan, dengan memiliki pasangan seksual lebih dari satu, akan menyebabkan suami/isteri menjadi rentan terpapar infeksi menular seksual, atau HIV/AIDS.
Menurut data Kementerian Kesehatan (2021), dari total populasi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia, sebanyak 35% adalah perempuan dengan HIV dan 33% hidup dengan AIDS.
Data juga menunjukkan bahwa 70% infeksi baru dialami oleh kelompok heteroseksual.
Pada tahun 2018, jumlah infeksi baru pada Ibu Rumah Tangga adalah sebanyak 16,405 kasus. Data ini menunjukkan tingginya kerentanan perempuan ibu rumah tangga tertular dari pasangannya. Lebih jauh menurut UNAIDS (2019), perempuan korban kekerasan 1,5 kali lebih rentan tertular HIV dari pasangannya.
Sedangkan NACA (2019) menunjukkan bahwa perempuan positif lebih rentan 4 kali lipat mengalami kekerasan seksual dan kerentanan perempuan positif yang hamil terhadap kekerasan fisik di masa kehamilan tercatat 6 kali lipat lebih rentan.
Hasil konsultasi Komnas Perempuan dengan berbagai lembaga yang bergerak di isu HIV/AIDS dan kekerasan terhadap perempuan menunjukkan sejumlah akar persoalan yang perlu diurai untuk memastikan agar ketersediaan layanan bagi perempuan dengan HIV/AIDS yang juga korban kekerasan dapat berlangsung secara simultan.
Ketersediaan obat, tenaga kesehatan untuk perawatan orang dengan HIV/AIDS (ODHA), layanan konseling, dan rumah aman merupakan bagian dari akar persoalan yang membutuhkan terobosan kebijakan lebih lanjut baik di tingkat pusat maupun daerah.
Di Papua misalnya teridentifikasi bahwa reagen untuk tes HIV tidak tersedia selama 1 tahun sehingga tes HIV tidak dapat dilakukan.
Hal ini berimplikasi pada sulitnya mendeteksi sejauh mana dan seberapa banyak kasus baru HIV/AIDS.
Lemahnya koordinasi yang memadai untuk memastikan pencegahan dan penanganan yang tuntas juga tampak dalam upaya penanganan HIV/AIDS meski infrastruktur untuk penanganan kesehatan telah jauh lebih berkembang daripada layanan penanganan kekerasan (Ajar, 2019).
Problem layanan menjadi isu krusial di masa pandemi karena pembatasan operasionalisasi kerja lembaga layanan baik untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan maupun layanan HIV AIDS.
Pembatasan layanan ini telah berkontribusi pada memburuknya kualitas hidup perempuan korban yang hidup dengan HIV/AIDS.
Selain itu, lemahnya perspektif keberpihakan terhadap PDHA korban kekerasan juga menyumbang pada masih kuatnya stigma dan diskriminasi terhadap mereka saat ingin mengakses layanan.
Layanan terpadu dengan integrasi HIV/AIDS juga masih belum terlalu kuat karena ada kecenderungan memandang HIV/AIDS sebagai isu kesehatan semata dengan pengabaian faktor determinannya, misal kondisi sosial, politik dan budaya yang melingkupi isu ini.
Akibatnya isu perempuan dengan HIV/AIDS yang mengalami kekerasan kerap terpinggirkan dari intervensi. Selain itu, kepolisian juga belum menyediakan layanan untuk pengecekan HIV/AIDS bagi perempan korban yang mengalami perkosaan karena sejauh ini pengecekan HIV/AIDS diperuntukan bagi tahanan saja.
Dalam rangka Peringatan Hari AIDS Sedunia pada 2021 ini, dan menyikapi persoalan di atas, Komnas Perempuan menyampaikan rekomendasi kepada:
1. Kementerian Kesehatan untuk memberikan perhatian khusus dan sensitif terhadap PDHA korban kekerasan agar akses keadilan dan pemulihan dapat lebih terjamin pemenuhannya; Mendorong pengintegrasian sistem layanan pemulihan korban dengan sistem peradilan pidana terpadu dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP).
2. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk memastikan agar layanan terpadu juga mengakomodasi kepentingan PDHA korban kekerasan.
Selain itu memperkuat kapasitas dan perspektif tenaga lembaga layanan agar berpihak pada korban, mengurangi stigma dan diskriminasi serta bekerja sama dan berkoordinasi dengan cepat dengan lembaga penegak hukum untuk membantu PDHA korban kekerasan; Menginisiasi kerja sinergis dengan Kementerian Kesehatan agar layanan terintegrasi dapat diimplementasikan bersama.
3. Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk menyegerakan layanan terintegrasi PDHA korban kekerasan baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan kerjasama lintas sektor/dinas.
Selain juga dukungan terhadap lembaga-lembaga pengada layanan untuk perempuan korban kekerasan, baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat sipil, sebagai implementasi dari Perdasus No. 1/2011, dengan perhatian pada:
a. Akses, penerimaan dan pencatatan pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan;
b. Keterhubungan persoalan kekerasan terhadap perempuan dengan persoalan lainnya, termasuk pada persoalan kesehatan seperti HIV/AIDS, atau di masa wabah pandemi Covid-19;
c. Rumah aman dan bentuk-bentuk perlindungan lainnya bagi perempuan korban kekerasan, termasuk memastikan layanan gratis untuk visum dan tes DNA dan
d. Anggaran yang cukup untuk penanganan kasus, pendataan dan pengembangan SDM penyelenggara layanan
4. Media dan masyarakat luas untuk turut serta mengawal dan memastikan kebijakan terkait layanan terpadu bagi PDHA korban kekerasan serta berperan dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi saat mereka ingin mengakses layanan pemulihan dan keadilan.