‘Srikandi Kembar’ Pejuang Informasi dan Literasi Tanpa Takut Diskriminasi
Apa yang terbersit saat mendengar kata Informasi dan literasi? Pastinya era teknologi seperti sekarang ini sebagian kita sangat akrab dengan dua kata itu.
Oleh: Chica
Menurut KBBI, informasi adalah penerangan, pemberitahuan atau kabar atau berita tentang sesuatu. Sementara literasi bermakna kemampuan menulis dan membaca. Kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan kecakapan hidup.
Jika kata literasi dan informasi digabung menjadi literasi informasi, maka dalam pengertian Perpustakaan Perguruan Tinggi mendefinisikan bahwa literasi informasi adalah kemampuan untuk mengenal kebutuhan informasi untuk memecahkan masalah, mengembangkan gagasan, mengajukan pertanyaan penting, menggunakan berbagai strategi pengumpulan informasi, menetapkan informasi yang cocok, relevan dan otentik.
Memahami makna literasi informasi menjadi kebutuhan semua pihak. Tak heran jika semangat literasi informasi terus digaungkan, mengingat ini erat kaitanya dengan era keterbukaan informasi yang ingin dibangun pemerintah. Banyak tokoh dalam dan luar negeri menjadi pejuang literasi informasi, termasuk tokoh lokal asal Kalbar yang getol memperjuangkan keterbukaan informasi dan literasi kepada khalayak ramai.
Saat ini, informasi sudah menjadi kebutuhan manusia. Era teknologi, memudahkan informasi untuk didapat. Namun, informasi harus diimbangi dengan literasi agar informasi tidak salah kaprah. Ini juga menjadi kerja para pejuang informasi agar selain melek informasi juga melek literasi. Di Kalbar, ada banyak pejuang informasi dan literasi.
Sebut saja, Rospita Vici Paulyn dan Chatarina Pancer Istiyani. Keduanya adalah pejuang informasi dan literasi yang sama-sama bekerja di Komisi Informasi (KI) Provinsi Kalbar. Sosok perempuan mereka tidak menghalangi bergerak di lintas organisasi, komunitas, lembaga untuk mensosialisasikan pentingnya mengetahui informasi yang dibutuhkan masyarakat. Selain keterbukaan informasi, mereka juga kerap menggaungkan pentingnya memahami informasi dengan baik dan benar agar tidak salah persepsi.
Rospita dan Chatarina dijuluki ‘Srikandi Kembar’ Komisi Informasi Kalbar. Tidak hanya berhasil masuk dalam jajaran KI yang umumnya menjadi ranah patriaki, tapi keduanya terbukti mampu bertahan hingga dua kali menduduki komisioner KI Kalbar. Bukan tanpa alasan mereka mendapat julukan tersebut. Beberapa rekan kerja, hingga kolega, lumrah mendengar julukan tersebut.
Bagaimana tidak, kiprah kedua perempuan tangguh ini bukan hal biasa, mereka mampu mendobrak kebiasaan dengan dibuktikan keduanya mampu menjabat Ketua KI Kalbar dalam periode masing-masing.
Rospita menjabat Ketua KI dari periode 2017-2019. Lalu terpilih kembali sejak Januari 2021 lalu. Sementara Chatarina terpilih menjadi Ketua KI tahun 2015-2017 lalu.
Jadi,tak heran melihat prestasi keduanya. Mereka pun cukup aktif dalam perjuangannya merealisasikan Kalbar yang transparan dalam hal informasi publik. Mereka mengabdikan diri mendorong banyak kebijakan terkait transparansi informasi, terutama data instansi pemerintah yang bisa diakses masyarakat secara luas dan berkala.
Pita begitu ia disapa, memulai karir di KI sejak tahun 2016. Awalnya, ia bekerja sebagai konsultan di salah satu perusahaan jasa konstruksi. Bahkan, pernah menduduki jabatan direktur di perusahaan yang sama.
Sejak tanggal 14 Januari 2021 lalu, untuk kedua kalinya ia dipercaya menjadi Ketua KI Kalbar. Tidak hanya itu, ia juga dipercayai menjabat ketua di sejumlah organisasi keperempuanan.
Baginya, status sebagai seorang perempuan tidak menjadi penghalang bagi profesinya, terutama saat menghadapi sejumlah gugatan terkait informasi.
Sebagai perempuan yang memimpin organisasi bergengsi tidak lantas ia berpangku tangan. Ini lebih berusaha keras agar literasi informasi bisa dipahami masyarakat. Terpenting, akses informasi menjadi jelas dan pasti tanpa hambatan akibat terhalang peliknya akses informasi.
Nah, tokoh perempuan pejuang informasi lainnya adalah Chatarina Pancer Istiyani. Ia merupakan, Koordinator Penyelesian Sengketa Informasi Publik pada Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat.
Wanita kelahiran Sleman ini merupakan aktivis sekaligus peneliti di sejumlah lembaga dan institusi. Memiliki kemampuan komunikasi yang sangat baik memudahkan ia masuk dalam jajaran perempuan Kalbar yang diperhitungkan, mengingat kontribusinya bagi daerah, terutama dalam membela hak-hak perempuan, lingkungan dan literasi informasi.
Ia gemar membaca dan hobbi menulis. Sejumlah buku sudah ia karyakan, seperti ‘Tubuh dan Bahasa’. Buku ‘Mozaik Dayak: Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku Berjudul ‘Memahami Peta Keragaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat’. Buku ‘Senator di Perbatasan’ hingga menulis kisah parlemen perempuan ‘Profil Perlindungan Perempuan Kalimantan Barat’.
Ia menganggap perempuan sangat pantas masuk dalam bingkai kesuksesan dibidangnya masing-masing. Masuk sebagai komisioner KI menjadi pembuktian bahwa perempuan bisa sukses jika mau bersungguh-sungguh dengan komitmen yang ada.
Menurutnya, ada andil para perempuan dalam pewujudan keterbukaan informasi public di Kalbar, ada perjuangan merebut hak untuk tahu, dan juga berbagai kisah dan peristiwa lainnya.
Ia masih ingat jelas saat perjuangannya terlibat dalam pembentukan KI Kalbar. Andil para Srikandi, terutama para aktivis perempuan Kalbar yang getol dalam memperjuangkan keterbukaan informasi.
Diakui, menjadi penggiat informasi dan literasi bukan pekerjaan gampang, kegigihan saat berhadapan dengan laporan hingga masuk area persidangan jadi bagian rutin komisioner ini.
Adanya UU Keterbukaan Informasi tidak lantas membuat tugas menjadi mudah, tetapi justru makin banyak tantangan, terutama bagi badan publik yang belum siap dalam meng-up date data terbaru.
Sementara masyarakat yang mengetahui adanya UU ini menuntut informasi menyeluruh. Diakuinya, ada beberapa informasi yang harus disampaikan setiap saat. Ada juga informasi yang disampaikan secara berkala minimal enam bulan sekali, khususnya anggaran yang menjadi sorotan masyarakat.
Dalam dedikasi mereka, perempuan tidak boleh cengeng hanya karena jauh dari rumah saat tugas harus diselesaikan. Perempuan harus bisa membuktikan diri bahwa mampu mengatasi tekanan, persoalan dan putusan yang harus segera diambil. Intimidasi dan diskriminasi tidak membuat mereka takut, meskipun ancaman maupun tekanan menjadi hal biasa dalam pekerjaannya itu.
“Jika akses untuk mendapatkan informasi publik terhalang, jangan heran jika pemahaman akan literasi yang ingin kita bangun lewat keterbukaan informasi akan semakin sulit. Kita makin terhambat, masyarakat bingung untuk mencari informasi kemana, makanya kita hadir agar seluruh instansi pemerintah transparan dalam memberikan informasi,” ujarnya.
Menurut mereka, masalah informasi publik ini harus sampai kepada masyarakat ditataran terendah sehingga literasi masyarakat pun bisa baik dalam melihat informasi yang ada.
Informasi publik, terutama menyoal anggaran, pendidikan, sosial dan kesehatan adalah yang paling banyak dicari, terutama oleh kalangan perempuan karena yang memiliki dampak langsung informasi tersebut. Literasi yang kurang akan informasi publik membuat ia dan rekannya di KI melakukan sosialisasi kepada perempuan agar melek dalam membaca informasi yang ada.
“Literasinya yang terus kita asah dalam membaca informasi pubik yang mereka butuhkan,” ujar Pita.
Baik Pita dan Chatarina mengakui, banyak tantangan yang mereka dihadapi. Berbagai kasus sengketa informasi melibatkan banyak pihak dari kepolisian hingga lembaga daerah menjadi hal biasa baginya. Dalam hukum, tidak ada yang namanya perbedaan perempuan dan laki-laki, jika tidak kompeten dibidangnya maka akan sulit menghadapi persoalan yang ada.
“Bagi kita, ini bukan halangan. Perempuan atau tidak, kita berjuang dalam bidang kita masing-masing. Perempuan duduk di dalam sidang, apalagi yang berjuang agar informasi bisa transparan sehingga literasi bisa terjadi. Menjadi kehormatan tersendiri dan saya, sebagai seorang perempuan pastinya bangga,” ungkap Chatarina.
Akses informasi yang sulit membuat banyak perempuan tidak bayak yang paham apa yang menjadi hak mereka. Perempuan adalah korban pertama ketika informasi sulit mereka dapat. Ini merupakan perjuangan perempuan dalam memastikan informasi, terutama yang bersifat publik bisa mereka akses.
Dengan tugas yang seabrak tidak membuat dua srikandi ‘kembar’ ini lelah, mereka cukup aktif dalam mesosialisaiskan di tingkat kota, kabupaten hingga desa pelosok Kalbar.
Belum lagi sosialisasi antar pulau di sejumlah daerah pedalaman Kalbar menjadi dedikasi sekaligus hiburan manis di tengah pesan-pesan edukasi yang mereka bawa. Bertemu banyak pihak, organisasi kepemudaan, perempuan maupun lintas agama, menjadikan mereka kaya akan pengalaman. Lebih memahami persoalan masyarakat pelosok akan kebutuhan informasi.
Saat ini banyak kerja-kerja penguatan informasi dan literasi menjadi pekerjaan rumah, mengingat kawasan Kalbar yang luas, ditambah jalur transportasi dan komunikasi yang masih sulit.
Warga pedalaman sama nasibnya dengan warga yang tinggal di perbatasan Kalbar-Malaysia. Mereka membutuhkan informasi untuk kelancaran kerja dan tugas mereka.
Bagi Pita dan Chatarina, ini adalah tugas wajib mereka saat terpilih menjadi komisioner KI Kalbar. Bukan hanya tugas, tapi dedikasi dalam memberikan kebutuhan informasi publik warga. Meskipun ke depan akan lebih banyak tantangan. Seperti ungkapan Kartini dalam bukunya ‘Habis Gelap, terbitlah terang’.